Penelitian pemilu dan kesehatan mental

Hubungan antara kesehatan mental dan pemungutan suara merupakan subjek penelitian di seluruh dunia. Sebagian besar penelitian ini menghubungkan pemungutan suara dengan masalah kesehatan fisik, kesehatan mental, depresi, kecemasan, dan bahkan gangguan tidur.

Sebuah studi baru Timothy Fraser yang diterbitkan oleh Cambridge University Press menunjukkan bahwa pemilihan presiden AS tahun 2020 berdampak pada gangguan kesehatan mental masyarakat.

“Kami memperkirakan 12,5% orang Amerika mengalami gejala yang sesuai dengan kemungkinan diagnosis PTSD terkait pemilu,” kata penelitian tersebut. PTSD, atau gangguan stres pascatrauma, adalah gangguan mental yang terjadi setelah mengalami atau menyaksikan https://treasureofsukabumi.com/ peristiwa traumatis atau sangat tidak menyenangkan. Pada saat yang sama, American Psychological Association (APA) merilis laporan yang menunjukkan bahwa 68% orang dewasa Amerika mengatakan pemilihan presiden AS tahun 2020 adalah sumber stres yang signifikan dalam hidup mereka.

Jauh sebelum itu, sebuah studi mengenai pemilu lokal di negara bagian Rajasthan, India, pada tahun 1995 juga menunjukkan hubungan antara stres dan pemilu. Studi tersebut menemukan bahwa dari 114 pasien yang disurvei, 47,4% memandang pemilu sebagai peristiwa hidup yang penuh tekanan.

Orang-orang percaya yang fanatik memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit mental
Kisah beberapa warga yang menggunakan hak pilihnya menunjukkan bagaimana status memilih mempengaruhi emosi mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Manoe Bernd Pohl, psikiater di Rumah Sakit Jiwa Daerah Abepura, tidak menampik adanya tekanan pemilu terhadap jiwa manusia. Dia mengatakan komentar emosional di berita pemilu, media sosial, dan live chat menjadi semakin intens dan dapat mempengaruhi jiwa masyarakat.

Selain itu, dokter Bernd Manor memperkirakan bahwa pemilih fanatik memiliki risiko lebih tinggi mengalami reaksi stres dibandingkan pemilih rasional yang belum menentukan pilihan.

Hal ini karena banyak di antara mereka yang merupakan kelompok garis keras dan cenderung akan terangsang secara emosional ketika orang pilihan mereka dikritik atau diserang.

Gejalanya mulai dari kecemasan, keasyikan dengan isu pemilu, gangguan pola tidur dan makan, hingga dampak fisik seperti sakit kepala dan nyeri pada bagian tubuh lain, serta gangguan pada hubungan keluarga, teman, pekerjaan, sekolah, dan kehidupan sehari-hari. Bernd Mano.

Ignacia Lia Natalia, psikolog Universitas Katolik Parahyangan, mengatakan orang-orang fanatik cenderung memiliki ekspektasi berlebihan terhadap orang yang mereka sembah, bahkan memupuknya menjadi “orang suci”. Menurut Ignatia, kaum fanatik berisiko mengalami ketakutan yang tidak terkendali karena seluruh perhatian dan tenaganya teralihkan dari sang juara.